25 April 2009 00:00 WIB
BERCERAINYA JK dan SBY ternyata membawa implikasi yang bagus bagi tegaknya etika politik. Setidaknya hal itu tampak dari respons dua tokoh.
Pertama adalah respons Sri Sultan Hamengku Buwono X yang mengatakan legowo dan tunduk pada putusan Rapimnas Khusus Golkar yang mengajukan JK sebagai calon presiden tunggal. Sultan yang sebelumnya menyatakan diri maju sebagai calon presiden tak akan maju lagi.
Sultan bukan hanya patuh kepada keputusan Rapimnas Khusus Golkar. Lebih dari itu, ia menilai keputusan rapimnas khusus itu menunjukkan Golkar telah kembali ke identitasnya sebagai partai besar.
Sikap Sultan itu menuai pujian karena menunjukkan kematangan politik. Ia pun patut dicontoh karena menjunjung tinggi etika politik dan menjaga keutuhan partai. Ia pun layak dihormati karena jujur mengakui bahwa peluang dirinya untuk menjadi presiden toh kecil.
Kedua yang patut dipuji adalah respons SBY yang mengatakan dia tidak akan mengambil calon wakil presiden dari Golkar. Itu menunjukkan SBY pun menjunjung tinggi etika politik. Ia tak ingin memecah belah Golkar dengan mengambil orang Golkar menjadi cawapres. Sikap yang juga layak dihormati.
Akan tetapi, etika politik itu mestinya tak hanya berhenti di situ, yaitu hanya ditunjukkan dalam konteks pencalonan wakil presiden. Etika politik mestinya juga dibawa secara konsisten sampai membentuk koalisi di kabinet. Dengan demikian, tidak ada lagi kabinet abu-abu, kabinet hasil politik dagang sapi. Tidak ada lagi kabinet hasil koalisi yang rapuh, yang dibentuk dengan cara membagi-bagi kursi kepada banyak orang dari banyak partai agar pemerintah aman di DPR.
Tegasnya, SBY pun mestinya tidak akan mengambil orang Golkar dalam pemerintahan yang baru bila ia dipilih kembali menjadi presiden. Sikap tegas itu sangat penting ditunjukkan dari sekarang agar tegas pula kelak siapa yang berkuasa, siapa pula yang menjadi oposisi.
Arah yang demikian itu sangat jelas tampak dari pertemuan JK dan Megawati bahwa Golkar dan PDI Perjuangan bersepakat untuk membangun pemerintahan yang kuat. Pemerintahan yang kuat yang juga dibangun bersama Gerindra dan Hanura dalam koalisi berkaki empat bila koalisi inilah yang memenangi kursi RI 1.
Begitulah, koalisi partai yang memerintah di satu pihak, dan koalisi partai yang menjadi oposisi di lain pihak, akan tampak sangat jelas dan gamblang secara kelembagaan. Secara kelembagaan, bukan secara personal sehingga tidak terjadi kebijakan pemerintah ditentang di DPR oleh partai yang memiliki menteri di kabinet.
Hal itulah yang sekarang terjadi di Kabinet Indonesia Bersatu. Bahkan, ada menteri yang berasal dari suatu partai, tetapi tidak diakui partainya sebagai orang partai yang ditempatkan di kabinet.
Berdasarkan peta koalisi yang dibangun secara institusional itu dapat dibayangkan terjadinya keseimbangan kekuasaan yang sehat. Siapa pun yang menjadi presiden kelak, dia akan mendapat kontrol yang dahsyat di parlemen.
Blog saya bagus??
Pilih Sendiri
Tinggalkan pesan
|

Jefry & Teman-teman
Clock

Calendar

0 komentar: